Perkembangan perbankan syariah di
Indonesia sangatlah baik. Adanya perbedaan
antara teori dan praktik pada perbankan syariah menyebabkan laporan atau opini
Dewan Pengawas Syariah yang dilampirkan dalam laporan keuangan bank syariah
belum mampu menjawab rasa penasaran masyarakat dan meyakinkan masyarakat
terhadap bank syariah apakah sudah sesuai dengan syariah. Tidak mengertinya
masyarakat terhadap informasi tentang kepatuhan syariah (shari’a compliance)
menyebabkan semakin runcing perdebatan tentang aspek kepatuhan syariah di bank
syariah saat ini.
Di tengah pertumbuhan yang
pesat dan tingginya animo masyarakat terhadap perbankan Syariah mengakibatkan
terjadinya ketimpangan karena pemahaman masyarakat terhadap produk, istilah
dari keuangan dan perbankan Syariah masih rendah ditambah lagi kualitas SDM
Syariah juga masih kurang memadai baik dari kualitas dan kuantitas dalam bidang
perbankan Syariah sehingga kondisi ini berpotensi sebagai gap yang pada
akhirnya bisa berpotensi terhadap penyimpangan. Perkembangan yang pesat
perbankan Syariah dengan jumlah asset pertumbuhan yang makin meningkat yang
melebihi perkembangan perbankan konvensional menjadikan isu transparansi pada
bank Islam menjadi hal yang sangat penting dan mendesak. Dengan banyaknya kasus
penyelewengan dan skandal di bank konvensional sehingga publik mempunyai
harapan yang tinggi terhadap performance bank Syariah sebagai alternatif dalam
sistem ekonomi.
Adanya Potensi
Penyimpangan Pada Bank Syariah
Melihat
kondisi perkembangan perbankan syariah saat ini diperkirakan memiliki potensi
penyelewengan dan skandal yang kemungkinan sama dengan bank konvensional. Para
bankir Syariah, jajaran eksekutif dan pejabat bank, termasuk komisaris juga
manusia biasa yang memiliki nafsu yang tergoda akan materi yang bergelimangan,
sehingga tidak mustahil kasus korupsi dan penyimpangan dapat terjadi sehingga
transparasi pada bank Syariah menjadi sangat penting demi mencegah potensi
skandal.
Potensi penyimpangan pada bank
Syariah yang sering menjadi pertanyaan dan menimbulkan kegelisahan publik
adalah apakah sistem perbankan Syariah sudah sesuai dengan kaidah atau
kepatuhan Syariah Islam (Shariah compliance) atau belum? Publik menganggap
bahwa tidak ada perbedaan antara bank Syariah dan bank konvensional karena,
publik masih mengalami kesulitan membedakan antara akad di bank Syariah dengan transaksi
pada bank konvensional.
Karena perbankan Syariah menggunakan
akad sebagai dasar dari transaksinya sehingga terdapat potensi penyimpangan
pada akad misalnya pada akad wadiah atau dalam istilah bank konvensional adalah
deposito. Menurut Bank Indonesia dalam kamus keuangan dan perbankan Syariah
wadiah secara umum adalah penempatan sesuatu di tempat yang bukan pemiliknya
untuk dipelihara.
Sementara menurut pendapat ahli
fiqih untuk Madzah Hanafi mendefinisikan wadiah adalah “mengikutsertakan orang
lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan,
maupun melalui isyarat”. Sementara konsep wadiah yang digunakan pada bank
Syariah adalah wadiah yad ad-dhamanah (titipan dengan resiko ganti rugi).
Transparansi Bank Syariah
Terkait dengan transparansi
pelaporan keuangan pada bank Syariah sebagai lembaga standar dan pengawasan
yang berkedudukan di Bahrain, terhadap performance bank Syariah menurut
Accounting, Auditing, Governance Standards for Islamic Financial Institutions
(AAOFI) bank Syariah harus mengungkap 19 item disclosure dalam laporan
keuangannya di antaranya adalah yang paling penting untuk mengetahui shariah
compliance dengan mengungkapkan dan menyajikan pendapatan atau pengeluaran yang
baik yang sesuai dengan shariah maupun yang dilarang oleh shariah pada semua
transaksi dan peristiwa bank Syariah dan memberikan penjelasan.
Berdasarkan studi yang dilakukan
oleh Noraini (peneliti IIUM), Simon Archer (Peneliti UK) dan Rifaat Ahmed Abdul
Karem (mantan sekjen AAOIFI dan sekarang sekjen IFSB-Malaysia) yang melakukan
riset terhadap transparansi pada bank Islam di 14 negara yang mempunyai bank
Syariah termasuk Indonesia dengan jumlah bank 28 bank Syariah sebagai
perwakilan dari setiap negara tersebut. Mereka menemukan bahwa transparansi
pada bank Syariah masih kurang terkait dengan resiko pengungkapan/disclosure.
Penerapan Akuntansi Syariah
Salah satu syarat penting dari
objektif bank Syariah pada prinsip penerapan akuntasi Syariah adalah melakukan
pengungkapan dengan full disclosure
tanpa ada yang ditutupi salah satunya adalah sumber pendapatan halal atau haram
sebagai bentuk akuntabilitas Syariah yang tidak hanya melakukan pelaporan
keuangan yang harus akuntabel kepada pemilik modal tapi lebih akuntabel kepada
masyarakat di dunia dan Allah SWT di akhirat kelak, terhadap semua transaksi
bisnis yang dilakukan pada bank Syariah sehingga bisa tercapai maslahah (social
benefit) dan tidak membawa keburukan pada masyarakat.
Pada prakteknya banyak laporan
keuangan dalam bank Syariah, secara umum kurang melakukan penerapan full
disclosure (pengungkapan penuh)
informasi tentang perputaran uang yang disimpan. Dalam laporan keuangan tidak
dijelaskan secara sempurna apakah dana yang telah disimpan atau diinvestasikan
sudah sesuai dengan kepatuhan Syariah (shariah compliance) yaitu dengan tidak
melakukan investasi pada yang dilarang oleh Islam dan tidak mendatangkan
keburukan bagi masyarakat dan lingkungan.
Menurut Pernyataan Standard
Akuntansi Keuangan (PSAK) 101 tentang penyajian laporan keuangan Syariah
mensyaratkan adanya full disclosure, dimana masyarakat mendapatkan semua
informasi dalam laporan keuangan sehingga membantu pengguna laporan keuangan
untuk memahami bagaimana transaksi dan peristiwa tersebut sesuai dengan
kepatuhan Syariah atau tidak. Pengguna laporan keuangan khususnya nasabah harus
mendapatkan kepastian secara jelas dengan transparansi dana yang disimpan pada
bank Syariah.
Contoh Kasus
Penyimpangan Pada Bank Syariah
Studi kasus pada bank Syariah di
Malaysia dimana secara asidental internal auditor bank Syariah menemukan bahwa
bank Syariah yang merupakan cabang dari bank konvensional telah melakukan
pembiayaan kepada sebuah rumah sakit namun ternyata terjadi transaksi non
shariah compliance pada rumah sakit tersebut. Sementara pembiayaan itu sudah
berlangsung selama empat tahun dan selama empat tahun rumah sakit tersebut
membayar margin tiap bulan kepada bank Syariah artinya karena pengelolaannya
rumah sakit tersebut tidak shariah compliance maka secara tidak langsung bank
mendapatkan margin dari penghasilan non halal dari rumah sakit tersebut
sehingga penghasilan bank Syariah tersebut bercampur dengan pendapatan halal
dan non halal.
Dari kasus tersebut berdasarkan pada
prinsip akuntansi Syariah yang full disclosure dan transparasi terhadap
akuntabilitas Syariah maka bank Syariah dalam laporan keuangannya harus
mengungkapkan semua transaksi tersebut terkait dengan pendapatan non-halal
selama empat tahun dengan membuat catatan tambahan atas laporan keuangan
tersebut tentang dana penghasilan yang telah digunakan dan dibagikan kepada
nasabah dalam bentuk non-halal sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban kepada
masyarakat dan sesuai dengan standard AAOIFI dan PSAK di Indonesia dan untuk
sisa margin non halal dari rumah sakit tersebut dikembalikan dalam bentuk
sedekah dan memperbaiki akad rumah sakit menjadi shariah compliance.
Secara umum semua produk perbankan
Syariah terkait dengan isu transparansi akan pendapatan non-halal baik itu akad
murabahah sebagai produk yang paling banyak ditawarkan. Potensi penyimpangan di
bank Syariah akan selalu terjadi. Oleh karena itu, komitmen dan kualitas sumber
daya manusia yang memahami Syariah baik dari aspek shariah compliance dan best
practice-Islamic bank harus ditingkatkan dan harus benar-benar merujuk kepada
prinsip-prinsip dan nilai-nilai ekonomi dan bisnis Islam yang telah diterapkan
oleh Rasulullah serta meningkatkan pengawasan internal bank Syariah serta Dewan
Syariah Nasional (DSN) harus memperketat dalam mengeluarkan dan menyetujui
fatwa terhadap produk perbankan Syariah sehingga terhindar dari dugaan
mengakomodasi kepentingan tertentu.
Menakar Kepatuhan Syariah
Bank umum syariah yang ada saat ini
masih ada yang mengakui adanya pendapatan bunga dari penempatan dananya dibank
konvensional sebagai pendapatan utama, bahkan termasuk komponen yang dibagi
hasilkan kepada nasabah deposan. Untuk mengidentifikasi ada tidaknya bunga dan
pendapatan haram lainnya maka bisa dianalisis sumber-sumber pendapatan yang
diperoleh bank syariah. Sumber pendapatan yang harus diperhatikan adalah sumber
pendapatan bunga yang berasal dari penempatan dana bank syariah di bank
konvensional. Berdasarkan PSAK Syariah maka pendapatan bunga dan denda tidak
boleh diakui sebagai pendapatan bank syariah, tetapi harus diakui sebagai
pendapatan dana kebajikan. Atas kasus tersebut belum ada pengungkapan informasi
dari Dewan Pengawas Syariah dan Bank Indonesia mengapa hal tersebut masih
dikatakan sesuai syariah dalam opini DPS bank syariah yang bersangkutan yang
dilampirkan dalam publikasi laporan keuangan.
Untuk mengidentifikasi apakah dalam
bank syariah terdapat unsur time
value of money dapat dilihat dalam catatan atas laporan keuangan
tentang metode akuntansi yang digunakan dalam pengakuan pendapatan margin
murabahah. Berdasarkan PSAK Syariah 102 tentang akuntansi murabahah paragraph
23 samapai dengan 25 menyebutkan bahwa pengakuan pendapatan margin murabahah
yang diperkenankan adalah secara proporsional. Berdasarkan penelitian penulis,
saat ini masih banyak bank syariah yang menggunakan metode anuitas dalam
pengakuan pendapatan margin murabahah. Metode anuitas akan menguntungkan bagi
bank syariah karena margin murabahah diakui diawal lebih besar dan akan menurun
terus sampai pada angsuran terakhir. Sehingga jika metode anuitas masih
digunakan dalam pengakuan pendapatan margin murabahah maka bank syariah masih
memegang prinsip-prinsip time
value of money.
Untuk melihat ada atau tidaknya
unsur gharar dalam bank syariah bisa diukur dan dianalisis dari laporan
rekonsiliasi pendapatan dan bagi hasil. Pendapatan yang dibagihasilkan oleh
bank syariah harus bersifat cash
basis tidak boleh pendapatan accrual.
Ada beberapa bank yang tidak menyajikan laporan rekonsiliasi pendapatan dan
bagi hasil sehingga tidak bisa diketahui apakah pendapatan yang dibagihasilkan
ke nasabah deposan adalah yang riil ataukah masih accrual. Teknik kedua adalah dengan melihat
pengukuran pendapatan yang dibagi hasilkan apakah menggunakan metode revenue sharing atau gross profit sharing ?
Jika bank syariah masih menggunakan revenue
sharing maka masih ada unsur kedzaliman. Berdasarkan fatwa DSN
No.15 Tahun 2000 sistem distribusi bagi hasil yang diperbolehkan adalah gross profit sharing
atau profit loss sharing.
Teknik selanjutnya dalam
menganalisis kepatuhan syariah di bank syariah adalah dengan melihat apakah
bank syariah menyajikan laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan. Jika bank
syariah tidak menyajikan laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan maka
perlu dipertanyakan tentang pengelolaan dana-dana non halal dalam bank syariah
tersebut. Begitu juga masyarakat dapat menilai bagaimana pengelolaan dana zakat
oleh bank syariah, terutama dalam aspek penyaluran dana zakat apa sesuai dengan
syariah atau tidak. Hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan dana zakat
adalah dana zakat tidak boleh disalurkan atau digunakan untuk melakukan
penghapusan piutang pembiayaan nasabah bank syariah dengan alasan masuk dalam
asnaf gharimin.
Peran DPS Pada Bank Syariah
Disetiap
lembaga keuangan perbankan syariah ditempatkan suatu Dewan Pengawas Syariah
(DPS) yang mengawasi operasionalisasi jalannya Bank Syariah apakah sesuai
dengan syariah atau tidak (Syariah Compliance). DPS hanya mengawasi (sharia
compliance) operasionalisasi Produk Bank Syariah saja sedangkan Sharia
Complance terhadap SDI & SDM nya tidak. DPS hanya mengawasi ketaatan
syariah terhadap operasionalisasi Produk Bank Syariah saja (Produk Dana, Produk
Pembiayan, dan Produk Jasa), sedangkan pengawasan terhadap segi syariah
dibidang SDM, AKUNTANSI SYARIAH, IT/MIS Syariah, MANAGEMENT SYARIAH, AUDIT
Syariah tidak dimonitoring tentang kesyariahnya (sharia compliance) sehingga
Bank Syariah sama saja dengan Bank Konvensional. DPS cenderung hanya mengawasi
produk syariah saja, ketika ada produk baru misal DPS hanya diminta melakukan
kajian fatwa dll untuk menentukan apakah produk tersebut bisa diterapkan di
Bank Syariah atau tidak.
Bagiaman dengan AUDIT nya apakah auditnya telah dilaksnakan dengan
prinsip2 audit syariah ?
Pengawas
Kepatuhan terhadap Syariah (sharia compliance) di bank syariah dilakukan oleh berbagai
pihak dan unit kerja di internal bank serta pengawas eksternal (BI, KAP). Di Internal
Bank dalam operasioanal sehari-hari dilakukan oleh Satuan Kerja Kepatuhan &
DPS (ex ante) dan oleh SKAI & DPS (ex post) = mereka (selain DPS) adalah
alat kelengkapan Direksi. Serta Komite Audit dan Komite Pemantau Risiko (Alat
kelengkapan Komisaris).
Satuan
Kerja Kepatuhan, SKAI dan Komite Audit, Komite Pemantau Risiko wajib didukung
oleh personil yang memiliki keahlian di bidang perbankan syariah dan memahami
operasional perbankan syariah sebagaimana diatur dalam PBI No.11/33/2009, Tentang
GCG. Idealnya di Satuan Kerja KEPATUHAN diperlukan personil yang memahami
dengan sangat baik Fiqh Muamalat dan memahami literatur/referensi Fiqh yang
ditulis dalam bahasa ARAB, sebagai partner DPS juga. Dari Eksternal bank
syariah di audit oleh BI dan KAP (salah satu objek audit adalah pemenuhan/ketaatan
pada prinsip syariah).
Pemasalahan Audit Syariah Yang Berada Di
Malaysia Dan Harus Diselesaikan :
a.
DPS Audit
Syariah di peringkat
nasional masih belum ditubuhkan (untuk menyelaras dan
memantau perjalanan organisasi secara berkala dan berpusat).
b.
Tidak ada Juruaudit Syariah yang
berpengalaman dan betul-betul menguasai bidang audit syariah.
c.
Peraturan audit syariah masih belum diusaha
dan diperkenalkan lagi.
d.
Tidak
terdapat badan tertentu
yang melatih DPS Syariah secara menyeluruh dan berkesan
Refrensi
:
Jurnal Muamalat Bil. 1/2008
Audit Syariah Dalam Institusi Kewangan Islam Di Malaysia